Hukum Menerima Uang Dari Pacar Menurut Islam

Hukum Menerima Uang Dari Pacar Menurut Islam

Hukum Menerima Uang dan Nafkah Hasil Judi

Para pembaca Bimbinganislam.com yang mencintai Allah ta’ala berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang hukum menerima uang dan nafkah hasil judi. selamat membaca.

بسم اللّه الرحمن الر حيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Semoga ustadz dan admin serta kita semua dijaga Allah.

Bagaimana hukum menerima sesuatu dari harta yang diperoleh dari perjudian ustadz?

Jazaakumullah khoiron

(Disampaikan oleh Fulan dari Sukoharjo, Member grup WA BiAS)

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Hukumnya tidak boleh, karena status harta itu menjadi harta haram ada dua penyebabnya :

Sebenarnya dzat dari harta ini halal akan tetapi karena diperoleh dengan cara haram maka ia menjadi haram.

Maka dari itu sebisa mungkin kita menghindar dari jenis harta yang didapatkan dengan cara haram. Kecuali jika seseorang menjadi istri atau anak-anak dalam sebuah rumah tangga, tidak mampu bekerja dan tidak ada yang menafkahi dia melainkan suaminya dengan menggunakan harta hasil perjudian maka ia mengambil sesuai kadar kebutuhan.

Dengan tetap menasehati suami agar meninggalkan perbuatan maksiat tersebut serta mencari jenis pekerjaan lain yang halal. Disebutkan di dalam Fatawa Lajnah Daimah :

لا يجوز للأب أن يربِّي أولاده على كسبٍ حرام ، وهذا معلوم عند السائل ، وأما الأولاد : فلا ذنب لهم في ذلك ، وإنما الذنب على أبيهم

“Tidak boleh bagi seorang ayah untuk mendidik anak-anaknya dengan penghasilan yang haram, dan ini satu hal yang sudah dimaklumi oleh penanya. Adapun anak-anak maka mereka tidak menaggung dosa dalam masalah ini akan tetapi dosanya ditanggung oleh ayah mereka.” (Fatawa Lajnah Daimah : 26/332).

Semoga bermanfaat, Wallahu ta’ala a’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh : Ustadz Abul Aswad Al Bayati حفظه الله Ahad, 05 Sya’ban 1441 H/ 29 Maret 2020 M

Ustadz Abul Aswad Al-Bayati, BA. Dewan konsultasi Bimbingan Islam (BIAS), alumni MEDIU, dai asal klaten Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Abul Aswad Al-Bayati حفظه الله  klik disini

Diasuh Oleh Tgk Alizar Usman*)

Assalamualaikum waramatullahi wabarakatuh.

Yth, Ustaz pengasuh rubrik Kajian Kitab Kuning di Serambinews.com.

Menjelang Pemilu 2024, saya sering mendengar orang berkata boleh mengambil uang yang diberikan oleh calon anggota legislatif (caleg) atau oleh calon kepala daerah.

Bahkan ada beberapa spanduk yang kira-kira bunyinya begini: “Peng tacok, ureung bek tapileh. Caleg beu pungo (Uang diambil, orangnya jangan dipilih. Biar calegnya menjadi gila).

Pertanyaannya? Apa hukumnya mengambil uang yang diberikan oleh caleg? Bolehkan seorang muslim mengambil uang yang diberikan oleh caleg yang mengharapkan kita akan memilihnya, tapi kemudian kita tidak memilihnya?

Terima kasih Ustaz. Semoga Ustaz selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin

Wa’alaikumussalam waramatullahi wabarakatuh.

Pertanyaan seperti sebenarnya sering muncul dalam berbagai forum, baik forum resmi maupun tidak resmi seperti selagi bincang-bincang di kafe sambil ngopi.

Dalam negara yang menganut sistem demokrasi, sangat mungkin bagi semua kalangan masyarakat untuk ikut serta andil, bahkan menjadi pemain, dalam pencalonan diri menjadi legislatif ataupun pemimpin pemerintahan.

Banyak dari lapisan masyarakat yang sebelumnya fokus dalam dunia nonpolitik, kini berpindah masuk dalam percaturan politik dan bergelut memperebutkan kursi kekuasaan.

Dari pengamatan kita di Indonesia, dalam memperoleh suara rakyat, banyak cara yang ditempuh oleh calon legislatif ataupun calon pemimpin.

Sebagian calon ada yang hanya mengandalkan ketenaran di dunia nonpolitik, atau calon yang tidak memiliki ketenaran sama sekali, namun dengan modal finansial yang besar.

Kekuatan finansial tersebut yang kemudian digunakannya sebagai sarana meraih suara mayoritas.

Mereka dengan sangat piawai dalam menutupi money politics yang mereka lancarkan; mulai dari yang berwujud sumbangan terhadap lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan, hingga yang dibungkus rapi dalam bentuk hadiah dan pemberian secara individual.

Sehingga, suap (risywah) sudah tidak lagi dilakukan di bawah meja kekuasaan, namun dengan menu dan aroma yang baru.

Menanggapi fenomena semacam ini, beberapa abad yang lalu Islam telah mengajarkan kepada kita bahwa risywah (sogok) merupakan tindakan yang tidak terpuji. Dari Ibnu Umar r.a, beliau berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صلعم الرَّاشِيَ وَالمُرْتَشِيَ

Rasulullah SAW melaknat penyogok dan penerima sogok (H.R. Abu Daud dan lainnya)

Al-Turmidzi menyatakan hadits ini hasan dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban. (Fath al-Alam karya Zakariya al-Anshariy: 673).

Dalam mengomentari kandungan hadits ini, Zakariya al-Anshariy menjelaskan kepada kita,

وفيه تحريم الرشوة على القاضي وغيره من الولاة لأنها ترفع إليه ليحكم بحق أو ليمتنع من ظلم وكلاهما واجب عليه فلا يجوز أخذ العوض عليه وأما دافعها وهو الراشي فإن توصل بها إلى باطل فحرام عليه، وإن توصل بها إلى تحصيل حق أو دفع ظلم فليس بحرام، ويختلف الحال في جوازه واستحبابه ووجوبه باختلاف المواضع

Dalam hadits memberi petunjuk haram menyogok qadhi dan pemangku kewenangan lainnya. Karena seseorang membuat laporan kepadanya agar mendapat hukum yang haq atau mencegah dari sebuah kedhaliman. Keduanya merupakan kewajibannya. Karena itu tidak boleh mengambil imbalan atas pekerjaannya itu. Adapun pemberinya yaitu penyogok apabila menjadikan sogokan tersebut sebagai perantaraan kepada suatu yang batil, maka hukumnya haram. Adapun apabila sogokannya itu sebagai perantaraan untuk mendapatkan haknya atau menolak kedhaliman, maka ini tidak haram. Terkait dalam hal boleh, anjuran atau wajib, ini tergantung perbedaan kondisinya. (Fath al-Alam karya Zakariya al-Anshariy: 673).

Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Zakariya al-Anshari menegaskankan dalam Ihya ‘Ulumuddin sebagai berikut:

قَالَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ الْمَالُ إنْ بُذِلَ لِغَرَضٍ آجِلٍ فَصَدَقَةٌ أَوْ عَاجِلٍ، وَهُوَ مَالٌ فَهِبَةٌ بِشَرْطِ الثَّوَابِ أَوْ عَلَى مُحَرَّمٍ أَوْ وَاجِبٍ مُتَعَيِّنٍ فَرِشْوَةٌ

Imam al-Ghazali mengatakan dalam al-Ihya, jika diberikan harta untuk tujuan mendatang (akhirat), maka dinamakan sadaqah atau untuk tujuan segera (imbalan​​​​​​ dunia) berupa harta maka dinamakan hibah bisyarthi al-tsawab (hibah dengan syarat imbalan). Jika pemberian harta itu atas perkara yang diharamkan atau kewajiban muaya'an (fardhu ‘ain) maka dinamakan risywah.(Asnaa al-Mathaalib, karya Zakaria al-Anshari: IV/300)

Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dalam fatwanya No. 03 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Umum Menurut Perspektif Islam dalam fatwa point kedua disebutkan: “Memilih pemimpin dan wakil rakyat yang bertaqwa kepada Allah SWT dan menjalankan fardhu ‘ain seperti shalat, dan lain-lain adalah hukumnya wajib.”

Kemudian dalam point kelima disebutkan: “Politik Uang dan atau memberikan sesuatu untuk kemenangan kandidat tertentu hukumnya adalah haram.”

Dan juga point keenam ada pemjelasan berikut ini: “Pemberian sesuatu baik langsung atau tidak langsung yang berkaitan dengan politik adalah perilaku yang tidak terpuji, baik yang memberi atau yang menerima.”

Keterangan-keterangan di atas memberi pemahaman kepada kita sebagai berikut:

1.  Pemangku kewenangan yang diberikan oleh pemerintah seperti qadhi dan lainnya wajib menetapkan/memilih sesuatu dengan kebenaran dan wajib menolak kedhaliman

2.  Memilih pemimpin dan wakil rakyat yang bertaqwa kepada Allah SWT hukumnya wajib

3.  Kewajiban menetapkan/memilih sesuatu dengan kebenaran dan menolak kedhaliman tersebut menjadi alasan hukum haram menerima imbalan apapun dari pihak yang tidak berwenang memberinya. Ini dapat dikatagorikan sebagai risywah yang diharamkan.

4.  Namun demikian, apabila sipemberi imbalan tersebut bertujuan untuk mengambil haknya yang terdhalimi serta tidak ada jalan lain selain dengan cara memberikan imbalan, maka tidak dianggap sebagai risywah. Artinya tidak haram dari sisi pemberi tetapi tetap haram dari sisi penerima

Sesuai dengan uraian di atas, jika kita terapkan untuk penomena yang sudah kita paparkan di awal tulisan ini, yaitu penomena sumbangan terhadap lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan dan lainnya ataupun pemberian secara individual dalam rangka mengubah pilihan si penerima dalam pemilihan legislatif maupun pemilhan calon pemimpin, maka tindakan tersebut merupakan risywah yang diharamkan baik dari sisi pemberi maupun penerimanya.

Kesimpulan ini berdasarkan pemahaman kita berikut ini:

1. Risywah tidak hanya dalam konteks putusan hukum saja, tapi lebih luas dari itu sebagaimana penjelasan pengarang kitab Asnaa al-Mathalib di atas.

Pemilih calon legislatif dan pemilih calon pemimpin merupakan individu yang diberikan kewenangan oleh pemerintah dalam memilih.

Karena itu, individu pemilih dalam hal ini sama hukumnya seperti qadhi dan pemangku kewenangan lainnya.

2.  Pemilih wajib memilih calon legislatif dan calon pemimpin yang sesuai dengan keyakinannya.

Karena itu, apabila menerima imbalan harta dari pihak calon legislatif atau calon pemimpin apakah itu mengubah pilihannya ataupun tidak, hukumnya haram, karena pemilih wajib memilih sesuai keyakinannya meskipun tanpa imbalan apa-apapun.

Ini akan bertambah haram lagi apabila si pemilih mempunyai niat menipu dengan jalan menerima uang tetapi pilihannya tidak berubah sesuai keinginan si pemberi.

(Ini menjadi jawaban pertanyaan di atas, “Apa hukumnya mengambil uang yang diberikan oleh caleg? Bolehkah seorang muslim mengambil uang yang diberikan oleh caleg yang mengharapkan kita akan memilihnya, tapi kemudian kita tidak memilihnya?”)

3.  Apabila pemberian tersebut bertujuan melakukan suatu perbuatan yang diharamkan berupa upaya mengubah pilihan masyarakat dalam memilih pemimpin atau wakilnya dalam pemerintahan dengan jalan pemberian imbalan sejumlah harta.

Ini merupakan tindakan kedhaliman merebut hak orang lain tanpa haq yang diharamkan, baik dari sisi pemberi maupun penerima.

4.  Namun demikian, apabila si pemberi imbalan tersebut bertujuan untuk mengambil haknya yang terdhalimi dan tidak ada jalan lain selain dengan cara memberikan imbalan, maka tidak dianggap sebagai risywah.

Artinya tidak haram dari sisi pemberi tetapi tetap haram dari sisi penerima.

Wallahua’lam bisshawab

*) Salah satu tugas mulia bagi Muslim adalah menjadi penerus risalah kenabian, yakni mensyiarkan Agama Islam dalam berbagai bentuk media.

Serambi Indonesia menyambut baik kerjasama Bidang Dakwah bil Qalam dan Lisan (video) dengan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh.

Dakwah melalui tulisan diasuh oleh Tgk Alizar Usman, S.Ag, M.Hum, alumni UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Alumni Dayah Istiqamatuddin Darul Muarrif, Lam Ateuk.

Adapun dakwah melalui visual diisi oleh keluarga besar DPP ISAD Aceh.

Dakwah di media besar melalui Serambi Indonesia jangkauannya lebih luas. Dapat dibaca kapan saja dan di mana saja sehingga konten dakwah bisa didapat lebih fleksibel.

Temukan solusi berbagai persoalan ummat di SINI

TRIBUNSUMSEL.COM -- Mungkin di antara kita pernah menemukan uang atau benda berhaga lainnya, di jalan yang kita tidak tahu siapa pemiliknya.Apa hukum menemukan uang di jalan dan ingin memilikinya. Apakah itu termasuk rezeki yang tidak diduga-duga?

Dikutip dari laman nu.online KH Abdul Basith, Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah Kedaton Bandar Lampung  menjelaskan sebagai berikut.

Menemukan uang dalam hukum Islam disebut dengan barang temuan (luqathah) yakni harta yang tersia-sia dari pemiliknya sebab jatuh, lupa dan sebagainya.

Ketika ada seseorang baik baligh atau belum, muslim atau bukan, fasiq ataupun tidak, menemukan barang temuan di jalan, maka bagi dia diperkenankan mengambil atau membiarkannya.

Akan tetapi mengambilnya lebih utama daripada membiarkannya, jika orang yang mengambilnya percaya bahwa dia bisa menjaganya. Seandainya ia membiarkannya tanpa mengambil/memegangnya sama sekali, maka ia tidak memiliki tanggungan apa-apa. Tidak wajib mengangkat saksi atas barang temuan baik karena untuk dimiliki ataupun hanya untuk dijaga.

Dikutip dari baznas.go.id, tentang harta temuan, mnurut hukum Islam, harta temuan tetap menjadi milik asli pemiliknya sampai pemiliknya ditemukan.

Ini berarti bahwa seseorang yang menemukan uang atau harta tidak memiliki hak untuk mengklaim kepemilikan atau menggunakan harta tersebut untuk kepentingan pribadi.

Dalam hukum Islam, untuk menghukumi barang temuan harus dilihat dari perinciannya atau sesuai dengan syariat. Dilihat dulu barang apa yang ditemukan, kira-kira sangat berharga atau biasa saja.

Ketika menemukan barang, salah satunya uang dan sangat berharga, maka harus mengumumkannya selama satu tahun di pintu-pintu masjid, tempat manusia keluar masuk untuk shalat berjamaah, atau di pasar dan tempat menemukan barang tersebut.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Qarib Al-Mujib fi Syarhi Alfazh Al-Taqrib atau Al-Qawl Al-Mukhtar fi Syarh Ghayatil Ikhtishar, karangan Abu Abdillah Muhammad bin Qasim bin Muhammad Al-Ghazi ibn Al-Gharabili:

(و) أن (يحفظها) حتماً (في حرز مثلها ثم) بعد ما ذكر (إذا أراد) الملتقط (تملكها عرفها) بتشديد الراء من التعريف (سنة على أبواب المساجد) عند خروج الناس من الجماعة (وفي الموضع الذي وجدها فيه) وفي الأسواق ونحوها من مجامع الناس،

Artinya: Kemudian setelah apa yang telah dijelaskan tersebut, ketika penemu ingin memiliki barang tersebut, maka wajib baginya mengumumkan selama setahun di pintu-pintu masjid saat orang-orang keluar habis shalat berjama’ah.

Lafal arrafa dengan ditasydid huruf ra’-nya, diambil dari masdar ta’rif (mengumumkan) tidak dari masdar ma’rifah (mengetahui). Dan di tempat ia menemukan barang tersebut. Di pasar-pasar dan sesamanya yaitu tempat-tempat berkumpulnya manusia. Pengumuman disesuaikan dengan waktu dan tempat daerahnya masing-masing.

Kemudian, jika ia tidak menemukan pemiliknya setelah mengumumkannya selama setahun, maka baginya diperkenankan untuk memiliki barang temuan tersebut dengan syarat akan menggantinya--saat pemiliknya sudah ditemukan.

Si penemu tidak bisa langsung memiliki barang temuan tersebut hanya dengan lewatnya masa setahun, bahkan harus ada kata-kata yang menunjukkan pengambilan kepemilikan seperti, “Saya mengambil kepemilikan barang temuan ini".

Jika ia sudah mengambil kepemilikan barang temuan tersebut dan ternyata pemiliknya datang saat barang tersebut masih tetap seperti semula dan keduanya sepakat untuk mengembalikan barang itu atau sepakat mengembalikan gantinya, maka urusannya sudah jelas.

Jika keduanya berbeda pendapat, si pemilik menginginkan barang tersebut dan si penemu ingin pindah pada gantinya, maka yang dikabulkan adalah sang pemilik menurut pendapat al ashah. Jadi sangat jelas, bahwa barang temuan dalam hukum Islam, harus diperinci terlebih dahulu, apakah barang tersebut sangat berharga atau biasa saja (remeh). Setelah itu harus diumumkan sesuai dengan aturan syariat. Setelah melewati berbagai kriteria yang ketat dan memenuhi untuk dimiliki maka penemu baru bisa  memilikinya.

Itulah penjelasan tentang hukum Menemukan Uang di Jalan Menurut Islam, Diambil atau Diinfakkan Bila Pemiliknya tidak Ditemukan. (lis/berbagai sumber)

Baca juga: Tulisan Arab dan Arti Hubbul Wathan Minal Iman, Cinta Tanah Air atau Nasionalisme Bagian dari Iman

Baca juga: Arti Ujibu Dawataddai Idza Daani Falyastajibu LiWalyuminu Bi Laallahum Yarsyudun Syarat Kabulnya Doa

Baca juga: Arti Tabassumuka Fi Wajhi Akhiika Laka Shodaqoh, Hadits Senyum di Hadapan Saudaramu adalah sedekah

Baca juga: Hukum Membully, Mengolok-olok Orang, Ustaz Habib Jafar: Sesungguhnya Kamu telah Menghina Penciptanya

Editor: Leonardo Ferdian |

RAKYATBENTENG.BACAKORAN.CO – Zakat sebagai kewajiban dalam Islam, merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang mesti dipenuhi oleh setiap muslim. Seiring dengan itu, sedekah juga memiliki peran penting dalam kehidupan umat Islam, di mana memberikan dengan ikhlas untuk membantu sesama merupakan ajaran yang sangat dianjurkan.  Namun, prinsip utama yang harus diperhatikan dalam memberikan zakat dan sedekah adalah bahwa sumber pendapatan yang digunakan haruslah halal. Dalam Islam, kehalalan sumber pendapatan menjadi faktor kritis dalam menentukan keabsahan zakat dan sedekah.

BACA JUGA:Mitos Atau Fakta, Makan Buah Alpukat Bikin Gemuk? Cek Jawabannya Disini!Dilansir dari rbtv.disway.id, menerima zakat atau sedekah dari uang yang diperoleh secara haram, seperti dari praktik yang melanggar prinsip-prinsip syariah, dapat menimbulkan ketidakjelasan dalam keabsahan amalan tersebut. Artikel ini akan mengulas secara mendalam tentang apakah menerima sedekah dari uang haram diperbolehkan dalam Islam.  Ustadz Dasad Latif menjelaskan bahwa kaidah terkait uang haram adalah sangat ketat dalam Islam. Uang yang diperoleh dari aktivitas seperti menang lotre atau judi, bisnis prostitusi, atau sumber yang jelas-jelas melanggar prinsip-prinsip syariah, tidak dapat diterima ketika digunakan untuk membangun masjid atau kegiatan amal lainnya. Allah dianggap Maha Suci dan hanya menerima yang suci.

BACA JUGA:Ini Cara Praktis Atasi Sakit Tenggorokan, Gak Perlu Pakai ObatPentingnya kehalalan sumber pendapatan juga ditegaskan dalam hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa Allah hanya menerima yang baik (thoyyib). Meskipun demikian, Ustadz Dasad Latif menyampaikan bahwa dalam beberapa kondisi tertentu, ketika seseorang atau lembaga penerima sedekah tidak mengetahui bahwa uang tersebut berasal dari sumber haram, misalnya hadiah atau sedekah dari orang yang bisnisnya tidak diketahui secara pasti, penggunaan harta tersebut tidaklah dianggap dosa. Namun, jika pemberi sedekah dikenal sebagai orang dengan citra buruk yang dekat dengan rezeki haram, maka akan muncul pertanyaan etis. Dalam konteks ini, seseorang atau lembaga penerima sedekah dapat mempertimbangkan kebijakan atau prosedur untuk menilai runutan harta yang disedekahkan, memastikan kehalalannya, dan menentukan langkah yang akan diambil berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

BACA JUGA:Fakta Dibalik Segarnya Es Teh, Bisa Picu Gagal Ginjal, Stroke Hingga JantungUstadz Dasad Latif menjelaskan bahwa pandangan ulama terkait uang haram, seperti uang panas, memiliki dua perspektif yang berbeda. Beberapa ulama berpendapat bahwa meskipun diketahui sebagai uang haram, keberadaan sedekah dapat memutuskan kaitan haramnya. Namun, mayoritas ulama berpendapat bahwa jika seseorang mengetahui bahwa uang tersebut berasal dari sumber yang haram, sebaiknya uang tersebut ditolak. Beberapa ulama berpendapat bahwa meskipun diketahui sebagai uang haram, keberadaan sedekah dapat memutuskan kaitan haramnya. Namun, mayoritas ulama berpendapat bahwa jika seseorang mengetahui bahwa uang tersebut berasal dari sumber yang haram, sebaiknya uang tersebut ditolak. Dalam konteks uang syubhat, yang mencakup uang hasil temuan, uang dari undian, atau pemberian yang tidak diyakini kehalalannya, Ustadz Dasad Latif menyatakan bahwa harta syubhat dapat dibersihkan dengan zakat dan sedekah. Namun, dalam hal uang hasil temuan, disarankan untuk mengumumkan secara luas. Jika tidak ada yang mengambil, sebaiknya disedekahkan dengan niat pahalanya untuk pemilik uang, dan pahala bersedekah juga diberikan kepada yang menemukan. Ustadz Dasad Latif menjelaskan bahwa uang yang diperoleh secara haram tidak dapat dibersihkan dengan cara sedekah, melainkan akan menjadi hak api neraka. Rasulullah SAW telah menyampaikan dalam sabdanya bahwa daging badan yang tumbuh dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka. Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi menyatakan: Artinya: "Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka." (HR. Tirmidzi No. 614). Ustaz Dasad Latif menyarankan untuk segera bertaubat dengan mengikuti 5 langkah berikut ini: 1. Mengucapkan istighfar (Astaghfirullah) 2. Mengakui perbuatannya 3. Berkomitmen untuk tidak mengulanginya 4. Mengganti perbuatan tersebut dengan kebaikan, seperti memberikan zakat dan sedekah 5. Jika terkait dengan harta, segera mengembalikannya. Misalnya, jika harta tersebut diperoleh dari cara yang haram, seperti motor, walaupun sudah bertaubat, sebaiknya segera mengembalikannya kepada yang berhak. Bertaubat dianggap sebagai langkah yang paling benar untuk menjalani kehidupan yang tenang di masa depan. Ustaz Dasad Latif menegaskan bahwa jika kita bertaubat, harta yang diperoleh dari cara yang tidak benar harus disalurkan kepada orang yang berhak, sehingga dosa yang terkait dapat dihapuskan. Dalam kesimpulannya, menerima sedekah dari uang haram dalam Islam menimbulkan ketidakjelasan dan keraguan terhadap keabsahan amalan tersebut. Prinsip utama yang harus diperhatikan dalam memberikan zakat dan sedekah adalah kehalalan sumber pendapatan. Uang yang diperoleh dari aktivitas yang melanggar prinsip-prinsip syariah, seperti judi, prostitusi, atau kegiatan yang jelas-jelas haram, tidak dapat diterima ketika digunakan untuk amal, seperti membangun masjid.Ustadz Dasad Latif menegaskan bahwa Allah hanya menerima yang suci, dan keberadaan uang haram dapat mempengaruhi keabsahan amalan keagamaan. Meskipun ada pengecualian dalam situasi di mana penerima sedekah tidak mengetahui bahwa uang tersebut berasal dari sumber yang haram. Dalam menghadapi uang syubhat, seperti hasil temuan atau pemberian yang tidak diyakini kehalalannya, harta tersebut dapat dibersihkan dengan zakat dan sedekah, tetapi transparansi dalam pengumuman penting. Namun, uang hasil dari aktivitas yang jelas-jelas haram tidak dapat dibersihkan dengan cara sedekah. Pentingnya bertaubat menjadi penekanan dalam menjalani kehidupan yang benar di masa depan. Bertaubat melibatkan mengakui kesalahan, berkomitmen untuk tidak mengulanginya, menggantinya dengan kebaikan, dan jika berkaitan dengan harta, mengembalikannya kepada yang berhak. Dengan bertaubat, harta yang diperoleh dari cara yang tidak benar dapat disalurkan kepada orang yang berhak, sehingga dosa yang terkait dapat dihapuskan. Demikian penjelasan mengenai bolehkah menerima sedekah dari uang haram, semoga kita semua mendapatkan rezeki yang halal dan terhindar dari kemaksiatan dunia.(**)

Uang pesangon atau dalam bahasa kerennya ‘Money Politic’ merupakan upaya mempengaruhi massa pemilu ataupun pemilihan kepala daerah bahkan hingga kepala desa dengan imbalan materi tertentu.

Secara hukum, praktik money politic ini jelas illegal, seperti diketahui dalam Undang-undang Pemilu Nomor 8 Tahun 2012, secara tegas mengatur larangan melakukan politik uang terutama pada pasal 86 ayat (1) huruf J, yang berbunyi:

Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.

Larangan tersebut diikuti  dengan ancaman pidana pada Pasal 301 Undang-undang Pemilu Nomor 8 Tahun 2012, yang menyatakan:

Setiap pelaksana kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebaga imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 dipidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000.

Tetapi dalam kenyataanya modus operandi money politic tetaplah menjamur terlebih menjelang pemilu legislatif dan Calon presiden maupun Calon Wakil Presiden 14 Februari 2024 mendatang dan juga pada masa-masa sebelumnya.

Kita harus sadar bahwa politik uang ini dapat merusak demokrasi karena dapat menghilangkan pilihan bebas pemilih dan mendorong penyalahgunaan kekuasaan. Jika ditelisik lebih jauh praktik ini berpotensi melakukan ‘korupsi’karena tingginya biaya politik di Indonesia.

Melangsir dari CNBC Indonesia, Fahri Hamzah Wakil Ketua Partai Gelora sekaligus mantan wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019 mengatakan bahwa ongkos demokrasi di Indonesia memang mahal karena mengakomodasi keterlibatan publik secara masif.

“Kita tidak meletakkan politik bukan permainan segelintir elit, tapi semua orang. Sehingga pemilihan dilakukan oleh rakyat dari tingkat paling bawah,” tuturnya.

Lebih lanjut Fahri Hamzah menambahkan Pembiayaan Pemilu di Indonesia’ (2018) yang dipublikasikan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), menyebutkan beberapa alasan uang politik begitu tinggi.

Pertama, biaya politik yang mahal disebabkan oleh semakin berkembangnya fenomena profesionalisasi politik dan kampanye. Kedua, karena kian rendahnya dukungan finansial dari kelompok akar rumput terhadap para politisi. Inilah yang berimplikasi ketergantungan peserta pemilu kepada donatur swasta dan negara.

Bersumber dari buku  “NU Demak Menjawab Problematika Umat” Para ulama merinci (tafshil)  status pemberian uang pesangon yang diberikan para caleg:

Para ulama juga menjelaskan jika pemberian tersebut termasuk kategori ‘hibbah atau hadiah’ maka boleh menerima dan tidak wajib mencoblos, sedangkan apabila pemberian tersebut termasuk kategori risywah maka tidak boleh menerima secara mutlak dan wajib mencoblos caleg yang sesuai dengan kriteria dalam fiqh.

Penulis: Ika Fitriani (Dosen IAIN Kudus)